Kaum Dusun Warangan, Muhadi (kanan), membakar kemenyan saat memimpin tradisi Nyadran Kali Puyam di lereng barat Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang Minggu (6/1). Tradisi itu sebagai pengelolaan secara kultural atas sumber air, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari warga setempat di Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, Magelang. (Hari Atmoko/dokumen).
Berita Terkait
Magelang, ANTARA Jateng - Kicauan burung bangkak, pleci, dan jalak watu bersahut-sahutan sambil berseliweran di atas pepohonan rimbun seakan menimpali tabuhan musik "truntung" oleh puluhan warga lereng Gunung Merbabu yang menyusuri jalan setapak menuju mata air Kali Puyam.

Kaum Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Muhadi (65) bersandal jepit dengan serampat warna biru sudah kusam dan mengenakan jas, celana panjang, serta peci serba warna hitam, memimpin warga setempat menjalani tradisi Nyadran Kali di sumber air dekat aliran Sungai Puyam di kawasan barat lereng Gunung Merbabu.

Tradisi mereka setiap tahun berlangsung bertepatan dengan perhitungan kalender Jawa, pasaran Kliwon, setelah pertengahan bulan Sapar. Pada tahun 2013, tradisi itu bertepatan dengan Minggu (6/1).

Letak mata air yang dipercaya warga ditunggu pepunden yang mereka sebut sebagai Kanjeng Sunan Aji itu, di Dusun Jamusan, Desa Gumelem, Kecamatan Pakis, sekitar 2,5 kilometer dari Dusun Warangan. Mata air itu juga disebut dengan Tuk Jamus.

Sejak 1978, air dari sumber itu disalurkan menggunakan pipa paralon oleh masyarakat setempat menuju dusunnya guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik rumah tangga maupun pertanian.

Di berbagai tempat di Dusun Warangan telah dibangun 13 bak penampungan air untuk selanjutnya mereka menyalurkan air tersebut menggunakan pipa paralon ke rumah masing-masing. Warga Warangan saat ini berjumlah 155 kepala keluarga atau sekitar 600 jiwa.

"Yang kami anggap aneh itu, air dari mata air Kali Puyam hanya mengalir untuk dusun kami. Kalau untuk dusun di bawah Warangan, alirannya sudah mati, kalau dipakai untuk warga dusun di atas tempat kami, airnya tidak bisa matang kalau dimasak," kata pemimpin komunitas seniman petani setempat yang tergabung dalam Sanggar Warangan Merbabu, Handoko.

Sebagai upaya pelestarian sumber air Kali Puyam itu, para sesepuh dusun merintis tradisi ritual di tempat itu setahun sekali, dilanjutkan dengan pentas berbagai kesenian tradisional di dusun setempat.

Beberapa kesenian tradisional yang mereka pentaskan di pekarangan rumah warga setempat, Giarto, sebagai rangkaian tradisi Nyadran Kali pada tahun 2013, antara lain, tarian "Warok Cilik" (Dusun Warangan), "Warok Tuwa" dan "Topeng Ireng Ehem" (Sanggrahan), serta "Topeng Ireng", masing-masing dari grup kesenian Cipto Kawedar Dusun Ngaran, Borobudur dan Sanggar Warangan Merbabu.

Sekitar seminggu sebelum jatuh hari "H" pelaksanaan tradisi itu, warga bergotong royong membersihkan bak air, baik di tempat utama di sumber air Kali Puyam dan lingkungan sekitarnya maupun di berbagai bak penampungan di dusun setempat.

Pada Minggu (6/1) pagi, mereka juga harus bergegas bergotong royong menyingkirkan tanah dari beberapa lokasi di sepanjang jalan menuju Kali Puyam. Tanah itu longsor akibat hujan deras mengguyur kawasan setempat pada Sabtu (5/1) sore hingga malam hari.

Kerja bakti mereka jalani secara cepat agar prosesi tradisi ritual mereka tetap bisa berjalan dengan lancar.

Mereka yang menjalani tradisi ritual itu berjumlah puluhan orang, dengan masing-masing mengenakan pakaian tampak rapi, termasuk Kepala Dusun (Bayan) Warangan, Ismadi.

Selain itu, para penari soreng dan penabuh musik kontemporer gunung "truntung" yang menjadi kesenian tradisional warga setempat juga menyertai prosesi tersebut.

Seorang warga setempat, Wardoyo, berjalan sambil menyunggi tenong berisi sesaji, sedangkan seorang lainnya yang bersurjan motif lurik, Slamet, menggendong tenggok dengan selendang. Tenggok kecil itu berisi nasi tumpeng. Kedua warga itu berjalan paling depan dengan, mengapit langkah Muhadi menuju mata air Kali Puyam.

Berbagai sesaji itu ditata di beberapa lembar daun pisang di atas ancak yang diletakkan di bawah batu besar mata air tersebut. Sesaji tersebut antara lain bunga mawar warna merah dan putih, tembakau, kemenyan, nasi tumpeng, ingkung, lauk pauk seperti tahu, tempe, dan kerupuk.

Suara gemericik air Kali Puyam dengan bebatuannya terdengar tiada henti, seakan turut memainkan irama dirinya sebagai pengiring prosesi ritual. Seorang perempuan tua berpakaian kebaya membasuh muka dengan air yang mengalir dari sumber itu, selama beberapa saat, diikuti para warga lainnya.

Muhadi yang telah membakar kemenyan di tempat itu kemudian memulai membacakan doa-doa dalam bahasa Jawa.

"'Dupa gandaning sekar, tumpeng agung potong ayam, sapangabekti ingkang jogo rumeksa ing lepen mriki, utawi kanthi caos pangabekti ingkang kagungan tuk mriki. Kangge Bapak Bayan sak kulawarga, kangge masyarakat ing Warangan, mugi-mugi toya tuk suci sageta lancar kaginaaken masyarakat, sageta kaparingan awet'," kata Muhadi ketika mengucapkan kalimat doanya.

Maksud kalimat berbahasa Jawa itu kira-kira, warga memberikan berbagai sesaji kepada penjaga sumber air Kali Puyam, agar kepala dusun dan masyarakat Warangan bisa memanfaatkan air dengan alirannya yang lancar dari tempat itu untuk kepentingan sehari-hari.

Pada kesempatan itu Muhadi juga mengajak warga berdoa agar masyarakat Warangan hidup tenteram dan damai, bebas dari berbagai musibah, serta menjalani kehidupan sehari-hari sebagai petani. Kawasan pertanian setempat dimanfaatkan masyarakat untuk budi daya berbagai jenis hortikultura.

"'Mugi-mugi anggenipun among tani, diparingana werdi jati ketelesan, teteg kangge napaki keluarganipun'," katanya yang maksudnya sebagai harapan agar petani setempat mengolah lahannya dengan air yang cukup dan panen melimpah untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Mereka yang mengikuti ritual itu pun sambil mengangkat kedua tangan masing-masing, secara serempak mengucapkan kata,"Amin".

Kesan sukacita dan kelegaan hati setiap warga setelah menjalani tradisi itu, selain terwujud dalam santap makan bersama disusul pementasan tarian soreng di bawah batu besar, sumber air Kali Puyam, juga tergambar melalui pembacaan puisi tiga bait bertajuk "Kali Puyam" oleh penyair Magelang, E.S. Wibowo.

"Jembatan batin Kali Puyam, kaki Merbabu pagi temaram. Air mata perihku meleleh, menangisi batu-batu gunung yang tersingkir sejarah agung. Kemudian, Kali Sleri berbisik 'Jangan berduka, Puyam'. Lalu, kuusap air mata dengan daun salam," demikian penggalan bait puisi yang dibuat penyairnya pagi itu dan dibacakan di mata air Kali Puyam.